Sejarah Penyusunan UUPA.
Perjalaanan panjang dalam uapaya
perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria
Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan Soewahjo, Panitia
Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.
1. Panitia
Rancangan Yogyakarta.
a. Dasar
Hukum.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan
Presiden Nomor : 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta
diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria.
Panitia ini bertugas anatara lain :
1)
Memberikan
pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai
hukum tanah pada
umumnya;
2)
Merencanakan
dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia Republik
Indonesia;
3)
Merencanakan
peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama
tentang tanah yang
tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang
merdeka;
4) Menyelidiki
soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.
b. Asas-asas
yang Menjadai Dasar Hukum Agraria Indonesia.
Panitia ini mengusulkan tentang
asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu :
1)
Meniadakan
asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat
(BAB I dasar- dasar dan ketentuan pokok, pasal
3)
2)
Mengadakan
peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang
dapat dibebani hak tanggungan;( BAB 2 hak-hak atas tanah,air dan ruang
angkasa serta pendaftaran atas tanah pasal 25 dan Pasal 1 ayat 1 UU No.4
Tahun 1996 Tentang hak tanggungan)
3)
Mengadakan penyelidikan terutama di negara tetangga tentang kemungkinan
pemberian hak milik
atas tanah kepada orang asing;(BAB 2 pasal 21 ayat 3, pasal 22 dan 26; PP
NO.103 2015;Mentri Agraria No.9 tahun 1999;)
4)
Perlu
diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi para petani kecil
untuk dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar (UUPA
BAB 1 pasal 7;BAB 2
Bagian 1 pasal 17;UU 56 Prp Tahun 1960;
pelaturan yang berlaku di jawa
dan Madura)
5)
Perlu
adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan untuk
pulau Jawa 10 hektar,
tanpa memandang macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan penelitian
lebih lanjut;( Pasal 2,7,dan 17 UUPA; menurut ketentuan diluar Jawa; Permenang
No.18 tahun 2016;)
6)
Perlu
diadakan regitsrasi tanah milik dan
hak-hak lainnya.(Lihat UUPA BAB&Bagian II ;pendaftaran tanah pasal 19 ayat 1-2,dan PP NO.24 Tahun 1997 )
c. Keanggotaan
Panitia.
Panitia Yogyakarta beranggotakan
sebagai berikut :
1) Para
pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan;
2) Anggota
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
3) Para
ahli hukum, wakil-wakil daerah dan ahli adat;
4) Wakil
dari dari sarikat buruh perkebunan;
2. Panitia
Jakarta.
a. Dasar
Hukum.
Panitia Yogyakarta dibubarkan dengan
Keputusan Presiden Nomor : 36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus
dubentuk Panitia Agraria Jakarta yang berkedudukan di Jakarta.
b. Keanggotaan.
Panitia Jakarta beranggotakan :
1)
Ketua
: Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti oleh Singgih
Praptodihardjo (Wakil
Kepala Bagian Agraria Kementrian Agararia);
2) Pejabat-pejabat
kementrian;
3) Pejabat-pejabt
jawatan; dan
4) Wakil-wakil
organisasi tani.
c. Usulan
kepada pemerintah.
Dalam laporannya panitia ini
mengusulkan beberapa hal dalam hal tanah pertanian, sebagai berikut :
1)
Mengadakan
batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengan
mengadakan peninjauan
lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris(UUPA Pasal
7,20 dan 56; ;penyelesaiyan masalah hak ulayat hukum adat ‘Permeng Agraria no.5
tahun 1999 )
2)
Mengadakan
ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa,
dan hak pakai;( Bab1
pasal 2,7,17dan 53 UUPA ;)
3)
Pertanian
rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak
dibedakan antara
warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah
rakyat;(pasal 21 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 UUPA)
4)
Bagunan
hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha, hak sewa,
dan hak
pakai;(ketentuan umum pasal 16,42 dan 30 UUPA)
5)
Pengeturan
hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan suatu
undang-undang.(pasal
3 UUPA)
3. Panitia
Soewahjo.
a. Dasar
Hukum.
Guna mempercepat proses pembentukan
undang-undang agraria nasional, maka dengan Keputusan Presiden RI tertanggal 14
Januari 1956 Nomor : 1 Tahun 1956, berkedudukan di Jakarta, diketuai
oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria. Tugas utama
panitia ini adalah mepersiapkan rencana undang-undang pokok agararia yang
nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.
b. Rancangan
Undang-undang.
Panitia ini berhasil menyusun naskah
Rancangan Undang-undang Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang pada
berisi :
1)
dihapuskannya
asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan
pada kepentingan umum
(negara);(Kebijakan Pemerintah Belanda Agrarische Besluit(Stb 1870 n0.118) pasal
2 ayat 4 UUPA ketentuan pasal 1 dan 2)
2)
Asas
domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal
38 ayat (3) UUDS 1950;(dibuatnya UUPA ketentuan pasal 2 dan 3 dan
dihapusnya hukum kolonial)
3)
Dualisme
hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan hukum
yang akan memuata lembaga-lembga dan
unsur-unsur yang baik, baik yang
terdapat dalam hukum adat maupun hukum
barat;(dihapusnya hukum kolonial)
4)
Hak-hak
atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial
kemudian ada hak
usaha, hak bangunan dan hak pakai;(pasal 6 Bagian 1 dan ketentuan hak-hak atas
tanah)
5)
Hak
milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang tidak
diadakan pembedaan
antara waraga negara asli dan tidak asli. Badan-badan hukum pada asasnya tidak
boleh mempunyai hak milik atas tanah;(Pasal 21 :Bg.1 pasal 9)
6)
Perlu
diadakan penetapan batan maksimum dan minimum luas tanah yang boleh
menjadi milik
seseorang atau badan hukum;(pasal 7 UUPA dan UU No.56 Tahun 1960)
7)
Tanah pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan
diushakan sendiri oleh
pemiliknya; Perlu
diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.( Pasal 10 BAB I
ayat 1)
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor :
97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia
Soewahjo) dibubarkan.
4. Rancangan
Soenarjo.
Setelah diadakan perubahan sistematika
dan rumusan beberapa pasal, yang
diajukan oleh Mentri Agraria kepada Dewan Mentri dalam sidangnya ke 94 pada
tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan ke DPR dengan amanat Presiden
tanggal 24 april 1958 no. 1307/HK.
Rancangan Panitia Soewahjo diajukan
oleh Menteri Soenarjo ke Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan
tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan yang lebih lengkap dengan meminta kepada
Universitas Gadjah Mada, selanjutnya membentuk panitia ad hoc .
Selain dari Universitas Gadjah Mada
bahan-bahan juga diperoleh dari Mahkamah Agung RI yang diketuai oleh Mr.
Wirjono Prodjodikoro.
(Lihat
5. Rancangan
Sadjarwo.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan
UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 no.1532/HK/1960 rancangan tersebut
ditarik kembali.
Dalam rangka menyesuaikan rancangan
UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gadjah Mada. Untuk
itu, pada tanggal 29 Desember 1959.
Setelah selesai penyusunannya,
maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 September
1960 rancanan UUPA sisetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI
menjadi Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA.
Berdasarkan
hukum adat (pasal 5)
Tidak
mengabaikan unsur agraria ,mewujudkan
masyarakat yang adil,dan makmur,merupakan penjelmaan nilai pancasila,merupakan
pelaksanan Dekrit Presiden,,melaksanakan ketentuan pasal 33 UUD 1945 (LIHAT TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA dari A-E)
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:a.bahwa di
dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmur;
b.bahwa hukum agraria
yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
c.bahwa hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat di samping
hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
d.bahwa bagi rakyat
asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum;
Berpendapat: a. bahwa
berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas
perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang
tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama;
b.bahwa hukum agraria
nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya, fungsi bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai dengan kepentingan
rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman
dalam segala soal agraria;
c.bahwa hukum agraria
nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai azas
kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar.
d.bahwa hukum agraria
tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik
Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan
maupun secara gotong-royong;
e.bahwa berhubung
dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun
ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk Undang-undang yang akan merupakan
dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional tersebut di atas;
Memperhatikan:Usul
Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia No. I/Kpts/Sd/II/60
tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah;
b.Pasal 33
Undang-undang Dasar;
c.Penetapan
Presiden No. 1 tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 No. 10) tentang Penetapan Manifesto
Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai Garis-garis besar
dari pada haluan Negara dan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960;
d.Pasal 5 jo. 20
Undang-undang Dasar;
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong
MEMUTUSKAN:
Dengan Mencabut:
1."Agrarische
Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), Sebagai Yang Termuat Dalam Pasal 51
"Wet Op De Staatsinrichting Van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925
No. 447) Dan Ketentuan Dalam Ayat-ayat Lainnya Dari Pasal Itu;
2."Domeinverklaring"
Tersebut Dalam Pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No.
118);
b."Algemene
Domeinverklaring" Tersebut Dalam Staatsblad 1875 No. 119a;
c."Domeinverklaring
Untuk Sumatera" Tersebut Dalam Pasal 1 Dari Staatsblad 1874 No. 94f;
d."Domeinverklaring
Untuk Keresidenan Menado" Tersebut Dalam Pasal 1 Dari Staatsblad 1877 No.
55;
e."Domeinverklaring
Untuk Residentie Zuider En Oosterafdeling Van Borneo" Tersebut Dalam Pasal
1 Dari Staatsblad 1888 No. 58;
3.Koninklijk Besluit
Tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) Dan Peraturan
Pelaksanaannya;
4.Buku Ke-II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Sepanjang Yang Mengenai Bumi, Air Serta
Kekayaan Alam Yang Terkandung Di Dalamnya, Kecuali Ketentuan-ketentuan Mengenai
Hypotheek Yang Masih Berlaku Pada Mulai Berlakunya Undang-undang Ini;
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA.
PERTAMA
BAB I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK.
Pasal 2
(1)Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2)Hak menguasai dari
Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a.mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa tersebut;
b.menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa,
c.menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3)Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4)Hak menguasai dari
Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 3
Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
Pasal 4
(1)Atas dasar hak
menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2)Hak-hak atas tanah
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3)Selain hak-hak
atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula
hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Pasal 5
Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
Pasal 6
Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 7
Untuk
tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan.
Pasal 9
(1)Hanya warga-negara
Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang
angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
Pasal 10
(1)Setiap orang dan
badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan.
(2)Pelaksanaan dari
pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan.
BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA
SERTA PENDAFTARAN TANAH.
Bagian 1.
Ketentuan-ketentuan umum.
Pasal 16
(1)Hak-hak atas tanah
sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:
a.hak
milik,
b.hak guna-usaha,
c.hak guna-bangunan,
d.hak pakai,
e.hak sewa,
f.hak membuka tanah,
g.hak memungut-hasil hutan,
h.hak-hak lain yang
tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan
Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam pasal 53.
(2)Hak-hak atas air
dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah:
a.hak guna air,
b.hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c.hak guna ruang angkasa.
Pasal 17
(1)Dengan mengingat
ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2
ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan
sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2)Penetapan batas
maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundangan
di dalam waktu yang singkat.
(3)Tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini
diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada
rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4)Tercapainya batas
minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan
perundangan,
dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Bagian II
Pendaftaran tanah.
Pasal 19
(1)Untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2)Pendaftaran
tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a.pengukuran
perpetaan dan pembukuan tanah;
b.pendaftaran hak-hak
atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3)Pendaftaran tanah
diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan
lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
(4)Dalam
Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak
mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut
Bagian III
Hak milik,
Pasal 20
(1)Hak milik adalah
hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
(2)Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 21
(1)Hanya warga-negara
Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2)Oleh Pemerintah
ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.
(3)Orang asing yang
sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan
tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu di
dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung.
(4)Selama seseorang
di samping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka
ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan
dalam ayat (3) pasal ini.
Pasal 22
(1)Terjadinya hak milik
menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Selain menurut
cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena:
a.penetapan
Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
b.ketentuan
Undang-undang.
Pasal 23
(1)Hak milik,
demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain
harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2)Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya
hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 24
Penggunaan
tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan
perundangan.
Pasal 25
Hak
milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 26
(1)Jual-beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang. dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Setiap jual-beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik
kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang di samping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum
kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2),
adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan,
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua
pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 56
Selama
Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum
terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan
peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 58
Selama
peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka
peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi
dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah,
yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta
diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.
KEDUA
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI.
Pasal I.
(1)Hak eigendom
atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut
menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai
yang tersebut dalam pasal 21.
(2)Hak eigendom
kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah
kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang akan
berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut di atas.
(3)Hak eigendom
kepunyaan orang asing, seorang warga-negara yang di samping kewarga-negaraan
Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak
ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35
ayat (1), dengan jangka waktu 20 tahun.
KEEMPAT.
A.Hak-hak dan
wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang
masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih
kepada Negara.
B.Hal-hal yang
bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A di atas diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.